Categories
KARYAKU

Sahabat Adalah Segalanya

pagi itu para syaithan seakan     …  …  …  … …… …… akan menggelayutiku. Mereka terus membisikki diriku agar tetap terjaga dari tidurku. Mereka tak pernah letih mengganggu iman seorang muslimah yang baru masuk pondok pesantren ini. Semakin beriringnya waktu, dinginpun semakin terasa sangat menusuk ke dalam tulang     …  …  …  … …… …… tulang tubuhku. Hingga aku tak kuasa duduk apalagi berdiri untuk menuju ke kamar mandi walau hanya untuk mengambil wudhu dan melaksanakan shalat tahajjud yang hanya berjumlah 2 rakaat. Aku benar     …  …  …  … …… …… benar lebih memilih kembali tidur dan menarik selimut yang sedari tadi hanya menutupi kedua telapak kakiku.

\”ctar    …  …  …  … …    …  …  …  … ….. bangun     …  …  …  … …… …… bangun    …  …  …  … … teriak salah satu pengurus sambil memukul lemari yang ada tepat di depan pintu kamarku.

Akupun segera terbangun bersamaan dengan teman     …  …  …  … …… …… teman lain, yang sama     …  …  …  … …… …… sama sedang tergoda oleh para syaithan. Aku segera mengambil tempat sabunku yang berada di dalam lemari bagian bawah.

Aku segera berjalan gontai menuju ke arah kamar mandi yang letaknya sekitar 1 meter dari kamarku. Sambil melirik jam, kusadari bahwa ini baru pukul 03:00 pagi. Akupun menuju ke kamar mandi nomer 17 yang sudah menjadi tempat mandinya anak kamar 8 Usb (Ummu Sulaim Bawah) lebih tepatnya adalah kamarku. Tampak puluhan santri sedang terduduk sambil terkantuk     …  …  …  … …… …… kantuk di depan kamar mandi tersebut.

\”Bare terakhir siapa mba?    …  …  …  … … ucapku menanyakan antrian terakhir kolam.

\”Mba Puput    …  …  …  … … ucap salah satu kakak kelasku sambil menunjuk ke arah mba Puput.

\”Bare ya mba Puput    …  …  …  … … ucapku sambil membangunkan mba Puput.

\”iya    …  …  …  … …    …  …  …  … … jawab mba Puput setengah sadar.

Categories
KARYAKU

Softlens Cantik Hadiah Ultah

Siang itu matahari tepat berada di atas kepala namun aku belum juga mendapatkan kartu semester karena belum mebayar infaq. Hampir saja aku menangis mengingat jawaban ayahku saat aku meminta uang kepadanya. Dia bilang kalo sekolah itu jangan uang terus. Ingin aku mengelak saat itu namun apa daya. Aku ingat kata     …  …  …  … …… …… kata guruku, aku tak ingin di sebut sebagai anak durhaka. Hari itu aku benar     …  …  …  … …… …… benar di timpa banyak sekali masalah. Ada kacamata pecah lah, ada anak redaksi pada berantem lah, ada anak kamar mengusirku lah. Pokoknya ada     …  …  …  … …… …… ada aja!. Ingin rasanya aku berontak dan kabur dari asramaku tercinta ini. Namun apa daya, aku itu cewek. Mau kemana aku, kalo mau kabur? Nanti kalau di culik atau di makan kolong wewe gimana? Seremkan. Akhirnya ku putuskan untuk mengambil air wudhu dan al quran. Setelah itu aku menuju ke masjid dan menangis sejadi     …  …  …  … …… …… jadinya lalu aku membaca al quran untuk sedikit menenangkan hati yang sedang berkecamuk ini.

Aku pun mencoba mencari jalan keluar. Namun belum juga ketemu     …  …  …  … …… …… temu. Semua orang yang dulu menyayangiku kini sikapnya berbalik semua.     …  …  …  …¹ ……Aku Harus Tegar\’ tegasku dalam batin. Ingin sekali rasanya aku curhat namun pada siapa? Akupun segera      … …  memutar otak dan muncullah di benakku seorang cowok memakai baju hijau dan sarung hijau. Dia adalah kak Bima. Dia adalah teman redaksi ku. Selama ini dia selalu menjadi inspirasiku untuk tetap bangkit memajukan redaksi yang hampir saja hancur ini. Dengan sedikit kegigihan kami dan kerja keras kami mempertahankan akhirnya terjawab sudah, kami bisa membuktikan semuanya dengan hasil yang kami buat. Walaupun semuanya tidak seindah kakak kelas sebelumnya tapi setidaknya kami berhasil tegak dengan kebersamaan kami. Walau masih sering terjadi konflik dari luar.

      … …      … …      … …      … …      … …

\”kamu kenapa ra, kok mukanya lesu banget?    …  …  …  … … ucap kak bima dari belakang layar.

\”iya kak, aku lagi b     ……  … …ªte bgt nwih. Perasaan masalah tak kunjung henti menghantuiku ya?    …  …  …  … … ucapku dengan nada sok tegar.

\”emang kenapa sih?    …  …  …  … … ucapnya penuh tanda Tanya.

Akupun menjelaskan semua yang terjadi dan segera menahan diri agar tidak kembali menangis. Kak bima menatapku lekat dan berkata

\”kalo mau nangis gak usah di tahan kali    …  …  …  … …

\”yeah, siapa lagi yang mau nangis. Akukan bukan anak kecil    …  …  …  … … ucapku dengan wajah tampak di buat buat.

\”kelihatan kok, kalo muka kamu itu lagi mencoba membendung air mata. Sudah deh, jangan di tutup     …  …  …  … …… …… tutuppin. Nangis itu bukan berarti anak kecil yang cengeng lho!    …  …  …  … …

Akhirnya akupun menangis sejadi     …  …  …  … …… …… jadinya di atas meja tepat berhadapan dengan kak bima. Semua perasaan yang sejak tadi aku pendam aku ceritakkan tanpa kurang sedikitpun. Aku benar     …  …  …  … …… …… benar seperti kakak dan adik di ruagan itu. Hingga akhirnya sepasang       … … mata menatapku dan memanggilku dengan suara keras.

\”Raraaaaaaaa    …  …  …  … ….    …  …  …  … …

\”ada apa kak?    …  …  …  … … ucapku pelan sambil mengusap air mata dengan tissue yang ada tepat di depanku.

\”kamu itu kerjaannya pacaran aja sih? Ruang redaksi itu buat para reporter tau. Bukan buat pacaran    …  …  …  … … ucapnya dengan nada      … …  sok tau.

\”masya Allah, ngapain juga aku pacaran di ruang redaksi? Mendingan juga di taman belakang sekolah. Bener gak ra?    …  …  …  … … balas kak Bima.

\”udah tau ada taman kenapa masih pake ruang redaksi?    …  …  …  … … ucap kak rossa sinis.

\”dia itu lagi curhat, apa kamu tau perasaan dia saat ini? Apa kamu tau masalah yang sedang menimpanya saat ini? Kamu itu kakak kelas yang gak punya hati ya sa? Liat adik kelas lagi sedih malah di bentak. Pantesan aja waktu kamu jadi pemimpin redaksi anak     …  …  …  … …… …… anaknya pada kabur    …  …  …  … … balas kak bima sambil menarik lenganku.

Tangisku pun terhenti saat aku tau kak Bima menggamit lenganku keras. Aku lari dengan kerasnya menuju ke asramaku. Di sana aku menangis sejadi     …  …  …  … …… …… jadinya di atas kasur milikku. Teman sekamarku hanya bisa memandangku tanpa pernah menanyakkan masalahku. Mereka selalu cuek padaku.

      … …      … …      … …      … …      … …

Akhirnya akupun dapat membujuk para guru untuk mendapatkan kartu semester terlebih dahulu walaupun dengan janji yang entah berantah kepastiannya. Walau sebenernya kak Bima membolehkan aku untuk meminjamkan uangnya padaku. Namun aku sadar siapa aku di mata dia? Dia hanyalah teman redaksiku. Aku juga tak ingin kejadin kemarin terulang sudah cukup sampai di sini semua orang menyakitiku.

\”hai ra gimana kabar?    …  …  …  … … ucap seseorang dari belakang.

\”ada apa ya?    …  …  …  … … ucapku dalam hati sambil berlari setelah sadar itu adalah kak Bima.

Kak Bima terus mengejarku dan saat itu kak Bima langsung memelukku dan menutup mataku dengan kain kecil. Setelah itu dia membawaku entah kemana hingga akhirnya

HAPPY BIRTHDAY RARA

 

\”surprise    …  …  …  … …    …  …  …  … ….    …  …  …  … … Teriak banyak orang yang ada di depanku dengan spanduk bertuliskan

 

\”terima kasih, ternyata kalian masih ingat akan ulang tahunku    …  …  …  … …

\”iya dwonk    …  …  …  … … ucap salah satu dari mereka.

\”tapi, mana kak Bima ya?    …  …  …  … … ucapku penasaran.

\”hilang kali di makan sama kodok    …  …  …  … … ucap salah satu dari mereka asal ceplos

\”waduh jangan donk. Aku belum bilang maaf nich    …  …  …  … …

\”emangnya maaf apaan?    …  …  …  … …

\”ada deh    …  …  …  … …

Tiba –      … …  tiba ruangan yang sedari tadi kita tempati padam. Semua orang berteriak     …  …  …  … …… …… teriak sedangkan aku sendiri di sana kebingungan karena kacamataku memang sudah lama rusak.

\”tolong    …  …  …  … …    …  …  …  … … rintihku sambil meraba     …  …  …  … …… …… raba tembok.

Namun datanglah seseorang yang tak kukenal menggendongku dan membawaku entah kemana. Aku hanya diam saja. Hingga akhirnya kami berada tepat di optik kacamata di sekitar daerah jakarta selatan.

\”kita di mana nih?    …  …  …  … … ucapku sambil menatap lekat     …  …  …  … …… …… lekat orang yang sedang menggendongku.

\”ke sini lah    …  …  …  … … ucapnya lirih.

\”hah, kak Bima. Kok bisa?    …  …  …  … …

\”ya bisalah, kan pake a bukan u. kalo pake u bisu donk?    …  …  …  … …

\”dasar    …  …  …  … …    …  …  …  … … ucapku sambil memukul punggung Kak Bima lembut.

Kak bimapun menurunkanku dan segera membawa aku masuk ke dalam optik kacamata tersebut. Ruangan di sana nyaman sekali. Penjaganya langsung menyuruhku untuk masuk untuk periksa mata kembali karena sudah lama aku tidak menggunakan kacamata. Alhasil Minusku bertambah menjadi 3,5 yang kanan dan kiri. Kak Bima hanya menggeleng dan menarikku untuk memilih kacamata. Namun dari ujung rak sebelah kanan hingga kiri tak ada yang cocok denganku.

\”pake softlane aja deh mba?    …  …  …  … … ucap sang penjaga optik tersebut.

\”iya tuh pake softlens aja. Kayaknya kamu bakal keliatan cantik deh?    …  …  …  … … ucap kak bima lembut.

\”iya deh, tapi aku gak punya uang kak    …  …  …  … … ucapku malu.

\”sudah tidak usah di pikirkan. Ini hadiah kakak untukmu    …  …  …  … …

\”makasih kak    …  …  …  … … ucapku lembut sambil memluk kak Bima dan menangis di pelukannya.

\”iya, yang penting di jaga ya    …  …  …  … … ucap kak bima sambil mengahapus air mata yang menetes di pipiku.

Semua orang yang melihat dari jendela tokopun ikut tersenyum termasuk sang penjaga yang ikut merasakkan kebahagian keuda sejoli tersebut.

Akhirnya rara yang beberapa minggu ini kehilangan keceriannya, Karena masalah     …  …  …  … …… …… masalah yang menimpanya. Kini kembali ceria dengan senyum mengembang. Rara yang dulu sangatlah culun kini menjadi lebih cantik dengan softlens biru yang iya kenakan.

 

 

Categories
KARYAKU

Bukti Sosialisasi

\”BRAKKK.. bantingkan tubuhku di atas kasur. Segera aku lempar semua barang barang yang ada di depanku. tangiskupun semakin menjadi saat mamah memanggilku. Aku benar benar merasa malu karena tidak bisa menjadi bintang kelas di sekolahku. Nilaiku turun drastis sedangkan ortuku sudah susah payah membayar SPP- ku. Aku malu kepada mereka. Apa yang mereka berikan padaku belum bisa ku balas sedikitpun. Aku benar -benar menyesal karena telah mengumbar janji manis kepaa mamahku. Dan alhasil semua ucapan mereka benar, bahwa organisasi menjadi pengganggu belajarku.

Categories
KARYAKU

Kau Adalah Sumber Inspirasiku

Sore itu matahari sedang berpamitan untuk pulang, namun aku tetap berada di teras rumah terpaku menatap kepergian seseorang yang selama ini aku cintai. Kini ia harus pergi, pergi meninggalkan segalanya demi impian yang selama ini ia impikan. Ia akan pergi ke Australia demi membahagiakan kedua orang tuanya dan melanjutkan kuliah di universitas ternama. Akankah ini menjai akhir dari segalanya? Tiba     …  …  …  … …… …… tiba ia berbalik dan menatapku lekat dengan mata berkaca     …  …  …  … …… …… kaca

\”Sofi, kakak pergi dulu ya?    …  …  …  … … ucapnya sambil mengulurkan tangannya.

\”iya kakak, tapi jangan lupa ade ya?    …  …  …  … … akupun menolak uluran tangannya mengingat aku dan dia hanyalah seorang yang selama ini sama     …  …  …  … …… …… sama memiliki rasa yang lebih istimewa.

\”Insya Allah, kakak akan selalu ingat denganmu    …  …  …  … … sambil mengambil sesuatu yang ada di dalam tasnya.

\”Sering     …  …  …  … …… …… sering kirim kontak lewat email ya    …  …  …  … … ucapku sambil menahan tangis

\”Iya de, tapi kamu harus jaga diri baik     …  …  …  … …… …… baik ya. Tunggu kakak 3 tahun lagi    …  …  …  … … sambil mengulurkan sebuah kotak kecil yang di lapisi dengan kertas kado berwarna hijau bermotif daun- daun.

\”apa ini kak?    …  …  …  … … ucapku penuh dengan tanda tanya.

\”sudah ambil saja, maaf hanya itu yang bisa kakak berikan    …  …  …  … …

\”terima kasih kak,       … … maaf ade belum bisa memberikan apa     …  …  …  … …… …… apa untuk kakak    …  …  …  … …

\”iya, tidak apa     …  …  …  … …… …… apa melihat dirimu bahagia saja kakak sudah senang. Itu adalah hadiah terindah yang pernah kau beri. Tetap tersenyum ya de, jangan mudah menangis. Tetaplah tersenyum, buatlah semua bahagia karenamu    …  …  …  … …

Tiba     …  …  …  … …… …… tiba terdengar suara klason mobil dari belakang. Kami pun tersadar bahwa sudah ada mobil yang sejak tadi menunggu. Kami hanya bisa saling membisu. Dan terdengar suara derap langkah seseorang yang akrab aku panggil tante atau lebih tepat ibunya kak fatah. Aku pun segera berjabat tangan dan memeluknya erat, anggap saja itu pelukan yang seharusnya aku berikan untuk kak Fatah namun aku harus ingat akan diriku. Diriku adalah seorang muslimah. Lama setelah aku berbincang dengan Tante Suci, merekapun berpamitan untuk pergi ke bandara. Saat itu pula aku di ajak untuk ikut bersama mereka. Aku pun segera menolak mengingat adanya les tambahan yang harus aku ikuti.

Akupun segera meminta mereka menunggu diriku yang akan berangkat menggunakan sepeda motor     …  …  …  …¹ ……Mio\’ yang kumiliki. Setelah aku siap berangkat, akupun meminta berada tepat di belakang mereka. Perjalanan terasa tak sempurna. Aku yang biasanya selalu berangkat les bersama dia kini harus rela berangkat sendiri menerjang banyaknya kendaraan. Akupun terus melamun hingga tanpa kusadari sedari tadi terdengar suara tanda message berdering dari hp yang berada di dalam jaketku.      … …  Sesegera mungkin aku mengambil dan ternyata itu adalah pesan dari kak fatah, belum sempat aku membacanya tiba     …  …  …  … …… …… tiba terdengar suara tabrakan mobil dan ledakan ban mobil tepat di depanku.

Akupun tersadar dan segera memberhentikan motor dengan rem depan dan hampir saja aku terjatuh. Namun segera kusadarkan diriku yang sedang lumbung ini. Aku pun turun dari motor dan menstarter motor tersebut di pinggir jalan. Aku berlari sambil terpincang     …  …  …  … …… …… pincang karena kakiku harus menahan motor yang hamper saja terjungkal. Tangis ku pun meledak saat harus melihat mobil yang di tumpangi keluarga kak Fatah menabrak pohon besar yang ada di pinggir jalan tersebut. Aku berlari dan segera meminta tolong kepada warga sekitar dan menelpon Rumah Sakit yang berada tidak jauh dari daerah tersebut.

Kini aku hanya bisa meneruskan pejuangan kak Fatah. Aku harus merelakkan semua keluarga kak Fatah pergi. Kini hanya tersisa mobil rusak dan rumah kosong yang sampai sekarang menjadi sebagian dari hartaku, karena ayah kak Fatah memintaku meminta menjaga semuanya saat di sisa nafas terkhir beliau. Kini aku dan keluargaku lah yan harus menjadi pengsuh pondok pesantren miliknya. Semua tempat yang dulu sering aku kunjungi bersama kak Fatah kini hanya tinggal kenangan. Aku harus merelakkan semuanya. Dan aku yakin di atas sana dia sedang tersenyum bahagia melihat kegigihanku meneruskan perjuangannya dulu. Tak lupa aku menanam banyak tumbuh- tumbuhan dan menjaga beberapa tanaman kesukaan kak Fatah. Aku ingat bahwa dia sangat menyukai warna hijau. Dia selalu bilang bahwa hijau adalah sumber inspirasinya. Untuk meminimalisirkan rasa rindu ini akupun meminta kepada ayahku agar kamar kak Fatah dan isinya tidak usah di ubah. Biarkan itu menjadi kamarku. Ruangan tersebut penuh dengan nuansa hijau. Aku pun membuka salah satu pintu lemari kak Fatah. Aku benar     …  …  …  … …… …… benar tercengang saat melihat album photo yang bersampulkan photoku. Aku segera membuka untuk menghilangkan rasa penasaran yang mengusik hatiku. It\’s Amazing! Ucapku dalam hati. Semua photo diriku sejak kecil hingga dewasa tersusun rapi di sana dan terdapat sebuah ukiran hati yang bertuliskan \”kau adalah sumber inspirasiku    …  …  …  … …. Tak terasa buliran air mata menetes dari pipiku. (tugas bahasa indonesia).

Categories
KARYAKU

Cintaku di Hawai

Pagi ini udara sangatlah sejuk, namun berbeda dengan hatiku yang kali ini di rundung gelisah. Hari ini dia akan pergi, pergi meninggalkanku untuk beberapa tahun ke depan. Bisa di bilang ini adalah detik     …  …  …  … …… …… detik terakhirku bertemu dengannya, aku tak tau apa yang harus aku lakukan? membiarkan atau mencegahnya untuk pergi?? Semuanya memiliki resiko yang sama     …  …  …  … …… …… sama berat. Tapi hati ini lho!

Categories
KARYAKU

SI KECIL, AISHA

Sastro terbaring di atas ranjang berbalut seprai putih sambil bersenandung. Cucu perempuannya tampak membaringkan kepalanya di sisi kakeknya ikut menikmati nyanyiannya walaupun gadis kecil itu jelas tidak mengenal lagunya. Sekali lagi, si cucu menyodorkan sebuah Juz Amma untuk kakeknya. Sastro hanya tersenyum, tahu akan apa yang bakal dikatakan cucunya.

\”Ayo kek, Aisha ajarin baca Al-Fatihah ya    …  …  …  … … pintanya polos dengan mata berharap.

\”lagi? Kemarin kan sudah    …  …  …  … …    …  …  …  … … elak Sastro dengan nada bercanda, walau suaranya terdengar parau, akibat tubuhnya yang kian melemah.

\”kemarin kan kakek belum selesai bacanya    …  …  …  … … protes Aisha sebal.

\”kakek ngantuk Aisha, kakek kan sakit    …  …  …  … … elak Sastro lagi kemudian langsung membalikkan tubuhnya pura-pura mendengkur.

Aisha tidak melanjutkan protesnya, dia percaya kakeknya benar-benar tidur. Gadis kecil itu berjinjit untuk mencium kening kakeknya dengan sayang.

\”maafin Aisha ya udah ganggu kakek, met bobo    …  …  …  … … Sastro tetap pura-pura tidur.

Sebenarnya Sastro sudah sejak lama hafal Al-Fatihah, bahkan hampir seluruh isi Al-Quran dia hapal. Bukankah dulunya dia seorang guru ngaji sebelum masuk tentara? Sastro serta merta teringat peristiwa lalu, kejadian pahit yang telah merubah hidupnya.

Aceh, 1953.

Peristiwa DI/TII, dimana sekelompok ekstrimis sedang memperjuangkan terwujudnya Indonesia sebagai negara Islam. Cuaca ketika itu mendung dengan angin berhembus kencang. Tampak para pejuang kedaulatan Indonesia sedang berpatroli di sekitar barak mereka yang sederhana.

Pakaian mereka tampak lusuh bersaput debu mesiu serta darah yang mengering. Janggut dan rambut juga dibiarkan tumbuh tanpa dicukur. Sastro ketika itu berpangkat letnan, sepuluh orang tentara muda menjadi tanggung jawabnya. Bedil senantiasa di tangan dan mata selalu awas berjaga.

\”sudah enam hari    …  …  …  … … kata rekannya yang bernama Basri sambil memainkan pisau.

\”kau rindu dengan istrimu?    …  …  …  … … ledek Sastro.

\”ngaco kamu, aku hanya kangen merokok, mulutku sepat rasanya    …  …  …  … … elak Basri.

\”di belantara begini mana ada yang menjual rokok    …  …  …  … … tanggap Sastro terkekeh.

\”aku ingin mencari di rimbunan semak sana. Pasti ada pohon tembakau walaupun cuma sebatang    …  …  …  … … kata Basri menunjuk sekumpulan tanaman lebat tak tertembus cahaya.

\”tapi lumayan jauh dari perkemahan kita, berbahaya kalau kamu pergi sendiri    …  …  …  … … cegah Sastro yang ditanggapi Basri dengan tawa.

\”sudah berapa tahun kau jadi tentara? tahukah kau berapa kali peluru nyaris membunuhku? Bah! Takdir di tangan Allah! Sudahlah kalau kau begitu khawatir kau ikut saja denganku    …  …  …  … … sahut Basri.

Sastro memandang kawan-kawannya yang tampak berjaga. Terbesit perasaan ragu dalam dirinya. Memang bukan sekali ini dia ikut berperang. entah berapa kali dia nyaris mati dalam perjuangannya. Tapi kali ini entah mengapa hatinya terasa berat sekali untuk mengikuti Basri.

\”kau mau ikut tidak?    …  …  …  … … Tanya Basri lagi. Dia akhirnya memutuskan untuk ikut. Sastro tahu Basri keras kepala, kalau sahabatnya mati, Sastro tidak akan pernah memaafkan dirinya. Siapa tahu para pemberontak itu akan membunuh Basri ketika dia sendirian.

Benar kata basri, beberapa batang pohon tembakau tampak tumbuh tegar di sana. Basri mengincar daun-daun yang sudah mengering, agar bisa langsung dilinting untuk dibakar.

\”ah nikmatnya    …  …  …  … … Basri menghela kepulan asap racun keluar dari paru-parunya. Baru saja mereka berpikir untuk kembali ke barak. Tiba-tiba terdengar samar suatu letusan senjata. Pertanda markas mereka tengah diserang.

\”Bedebah!    …  …  …  … … maki Basri sambil melemparkan lintingan tembakau yang susah payah dia dapatkan. Sastro gemetar karena firasatnya terbukti. Teman-temannya dalam bahaya.

Dan ketika mereka kembali ke tenda semua sudah terlambat. Sastro meraung murka karena para musuhnya berhasil kabur. Gerilyawan pemberontak itu juga meninggalkan tanda mata untuk Sastro dan tentara lain yang tersisa. Kepala-kepala tanpa tubuh, ditancapkan pada ruas-ruas bambu menghiasi tenda mereka.

\”mereka datang dengan pasukan yang tiga kali lipat lebih banyak dari kita    …  …  …  … … seorang anak buahnya menyeret tubuhnya yang terluka untuk melaporkan kejadian tadi kepada atasannya.

Sastro memeluk tubuh-tubuh tak bernyawa itu dengan air mata berlinang. Sementara Basri dan prajurit lain yang tersisa mencoba menenangkannya.

\”Ini perang Sastro    …  …  …  … …    …  …  …  … … Rintih Basri.

\”tidak hanya kita yang kehilangan, mereka juga    …  …  …  … …    …  …  …  … … tambah yang lain walau semua itu tidak berpengaruh bagi Sastro.

Sastro mengelilingi perkemahan, menyaksikan mimpi buruk yang paling dihindarinya. Mayat-mayat bergelimpangan, kepala terpenggal, usus berhamburan.

Sastro tidak habis pikir. Mereka Islam, tapi mereka tersesat terlampau jauh. Sebagai mantan guru ngaji dia sangat mengerti aturan peperangan. kalau mereka memang memahami kitab suci mereka tidak mungkin berani menyiksa musuhnya sedemikian rupa. Mereka seharusnya tahu kalau jiwa mereka yang membunuh di peperangan karena amarah dan nafsu tidak akan diterima di surga. Sastro gelap mata. Pikirannya tertutup amarah.

\”aku tidak mau Sholat lagi! Aku tidak mau disamakan seperti mereka!    …  …  …  … … Teriaknya berulang-ulang.

\”Astaghfirullah Sastro..Istighfar    …  …  …  … … ujar Basri untuk menenangkannya. Tapi otak Sastro sudah lebih dulu tersaput dendam.

Jakarta, 1999.

Sastro meneteskan air mata. Dia kini sudah menjadi kakek renta yang sedang menunggu ajal. Tubuh yang dulunya tegap berisi kini tinggal tulang berbalut kulit. dia takut mati. Dosanya terlampau besar. Dia malu terhadap sang pencipta.

Salah seorang anaknya mendekati ranjang. Dialah ibu dari Aisha. Gadis kecil yang tidak pernah jera meminta kakeknya mengaji.

\”pak    …  …  …  … …    …  …  …  … … putrinya memandangnya lekat-lekat, ingin memulai pembicaraan. Tampak matanya sembab seperti habis menangis.

\”dokter bilang umur bapak tidak lama lagi kan?    …  …  …  … … tebak Sastro. Putrinya menggeleng lemah.

\”dokter tidak bilang begitu, dia hanya bilang kalau bapak sakit parah dan sulit diobati    …  …  …  … …

\”itu sama saja    …  …  …  … … tanggap Sastro sambil tersenyum pahit. Kepalanya tiba-tiba pening. Pandangan matanya mengabur seakan ada ribuan kunang-kunang mengitari dirinya. dia lalu mengenang hidupnya yang tidak pernah membosankan.

Selama sisa hidupnya sastro dikenal sebagai orang yang baik. Dia tidak pernah mabuk-mabukan. Dia tidak pernah main perempuan. Dia selalu berkurban setiap Idul Adha. Dan Entah sudah berapa Mushola di Jakarta yang terus berdiri dan kokoh berkat sumbangan darinya.

Satu yang Sastro sesali adalah dia tidak pernah Sholat. Rasa ego dan janji bodohnya di masa lalu yang menyatakan tidak mau lagi menginjak sajadah membuatnya malu terhadap Sang Pencipta. Dia takut ibadahnya tidak diterima. Kini dia bahkan hampir lupa bagaimana caranya Sholat.

\”pak    …  …  …  … …    …  …  …  … … sapa putrinya yang segera membuyarkan lamunannya.

\”bapak belajar Sholat ya?    …  …  …  … … lanjut putrinya. Sastro cukup terkejut, karena selama ini putrinya seakan tidak pernah mempermasalahkan keislamannya. Sastro diam saja.

\”bapak sudah tahu dari dulu kan kalau mereka yang membunuh anak buah bapak secara sadis waktu perang dulu, sebenarnya adalah orang-orang yang tidak paham sama agamanya sendiri?    …  …  …  … … Sastro terbatuk, dia terkejut.

\”kamu kok tahu nak?    …  …  …  … … Tanya Sastro. Putrinya hanya tersenyum menenangkan.

\”beberapa tahun lalu pak Basri pernah cerita sama Lala, bapak jangan terus mendendam. Bapak jangan terpengaruh sama masa lalu. Percayai hati nurani bapak saja    …  …  …  … …    …  …  …  … … ujar Lala putrinya sabar. Sastro kembali membisu selama beberapa detik.

\”Bapak malu nak    …  …  …  … …    …  …  …  … … kata sastro akhirnya. Sebelum Lala sempat menanggapi. Pintu kamar Sastro terbuka. Dan masuklah Aisha, gadis kecil yang terus meneror Sastro selama beberapa tahun ini.

\”eh kakek udah bangun, sini Aisha ajarin baca Al-fatihah    …  …  …  … … Sastro merasa kehangatan tiba-tiba merayap di tubuhnya.

\”boleh, tapi ajarinnya pelan-pelan ya    …  …  …  … … Sastro berharap, ketika ajalnya menjemput. Dia bisa pergi dengan perasaan bangga.